A Letter to My Sister


Dear Chacha, 

Selama ini mungkin kita banyak sekali bercerita tentang segala hal. Mulai dari hal yang penting sampai yang sangat tidak penting sekalipun. Tapi mungkin ada satu hal yang tidak atau belum sempat aku utarakan langsung. Aku kagum dan bangga padamu, Dik.. :)

Di usiamu yang lima tahun lebih muda dariku, banyak hal dalam dirimu yang kuanggap sangat pantas menjadi panutanku. Semangat belajarmu, kecerdasanmu, dan keuletanmu, hanyalah sedikit di antaranya. Aku pun kagum karena di usiamu yang semuda itu kamu sudah meraih sebagian besar dari mimpimu, yakni bekerja di salah satu bank ternama sambil mengejar gelar sarjana, bahkan berencana melanjutkan S-2 setelahnya. Kamu hebat Dik. Aku bangga padamu. Dan aku yakin orangtua kita pun merasakan hal yang sama.. :)



Dari rahim wanita yang sama kita terlahir ke dunia. Wanita yang sama-sama kita kagumi, sama-sama kita agungkan selama ini dan selama-lamanya. Dari wanita itu kita sadar bahwa tak selamanya wanita bekerja mengabaikan keluarga. Dari wanita itu pula kita belajar bahwa selain shalat, sabar dan syukur merupakan kunci utama dalam hidup yang akan menyelamatkan kita dari kejamnya dunia. Ya, kita memang belum bisa seperti Mama. Tapi aku yakin kita sedang sama-sama berusaha.

Dik, tahukah kamu bahwa aku sempat cemburu ketika kamu hadir di tengah-tengah keluarga kita. Karena di hari kamu dilahirkan, semua perhatian sontak tertuju padamu, bukan lagi padaku. Kehadiranmu membuatku gagal menjadi anak bungsu dan praktis menyulitkanku untuk bermanja-manja seperti sebelumnya. Sejak kamu hadir, entah berapa episode pertengkaran yang pernah kita lakoni. Mulai dari meributkan hal-hal kecil, memperebutkan mainan yang sebetulnya bisa kita gunakan bersama-sama, hingga berebut perhatian orangtua kita. Sejak kamu hadir pula, entah berapa episode sedih dan bahagia yang melibatkan kita di dalamnya. Semuanya meninggalkan kesan dan pembelajaran, dan melalui itu semua kita semakin dekat dan semakin kuat.

Kini, aku tak bisa membayangkan apa jadinya semua itu jika kamu tak ada? Seperti apa hidupku jika aku tetap menjadi anak bungsu, dengan satu kakak lelaki yang hanya asik dengan dunianya. Aku pasti akan sangat kesepian. Hidupku pun pasti akan sangat membosankan.




Seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya usia kita, tak ada lagi rasa cemburu itu padaku. Pertengkaran di antara kita pun menjadi hal yang sangat jarang terjadi, bahkan kini tak pernah sama sekali. Yang ada hanya rasa saling bergantung, sesuatu akan terasa kurang jika aku atau kamu tak ada di situ. Tak heran jika ketika kita pindah ke rumah baru lima belas tahun yang lalu, banyak tetangga yang mengira kita saudara kembar. Selain karena banyak kemiripan, kita pun jarang terlihat keluar rumah terpisah, selain ketika sibuk dengan urusan kita masing-masing. Bahkan, hanya untuk membeli sesuatu di warung terdekat dari rumah pun, kamu selalu memintaku untuk mengantarmu, bagitu pula sebaliknya. Hal itu terjadi sejak kita kecil, hingga sekarang, meski menjadi sangat jarang karena kesibukan yang kita punya.

Saat kita beranjak besar, dua kamar yang orangtua kita sediakan pun sangat jarang kita tempati sendiri-sendiri. Ketika aku melajang dulu, kita sering kali tetap tidur berdua dalam satu kamar, sementara satu kamar lainnya lebih berfungsi sebagai ruang untuk kita berganti pakaian dan berdandan. Lihatlah betapa kita sulit untuk dipisahkan.

Hingga tiba saatnya aku menikah, barulah kita benar-benar tidur terpisah. Sejak itu aku merasa kehilangan hal-hal yang rutin kita lakukan sebelum tidur. Saling curhat, bercerita banyak hal mulai dari remeh-temeh sampai hal terberat, yang baru berhenti hingga salah satu dari kita terlelap. Beruntung sekarang kita masih berseberangan kamar, sehingga aku tetap bisa masuk ke kamarmu sesukaku untuk sekedar menyapa dan berbagi cerita. Ketika aku pulang larut malam, aku pun masih bisa mengintip sebentar ke dalam kamarmu, hanya untuk memastikan bahwa aku sudah melihatmu hari itu meski saat kamu tertidur. Lihatlah bagaimana kesibukkan telah menyita kuantitas waktu kita bersama, terutama pada hari-hari kerja.. :(



Dik, kini aku sedang menahan haru. Menghitung mundur sisa waktu yang aku punya untuk tinggal di rumah yang selama ini kita tempati bersama. Rumah yang menyimpan banyaaaaaaak sekali kenangan tentang kita dan keluarga. Rumah yang menjadi saksi tangis, tawa, dan adu mulut kita. Rumah tempat kita menampung sekian banyak kucing yang selalu kita asuh bersama-sama. Di satu sisi, aku merasa bahagia akan kepindahan ini, karena aku dapat hidup mandiri bersama suamiku pada akhirnya. Tapi di sisi lain aku merasa sedih karena akan meninggalkan rumah itu beserta segala isinya, meninggalkan kamu dan orangtua kita beserta segala rutinitas kita sekeluarga, dan meninggalkan suasananya yang selalu membuatku betah berada di sana.

Kunjungi aku sesering mungkin ya Dik. Doakan aku juga agar Tuhan segera memberimu keponakan melalui aku, yang aku yakin akan membuatmu semakin sering mengunjungiku, bahkan betah berlama-lama tinggal di rumahku nanti. Doakan aku selalu, seperti aku yang juga tak akan putus mendoakanmu agar bisa segera mencapai sisa mimpimu itu. Tetaplah menjadi sahabatku, menjadi tempat berkeluh kesahku, menjadi kebanggaanku, menjadi teman shoppingku, dan teman menonton film-film drama Korea yang tak disukai suamiku. Tetaplah menjadi partner terbaikku untuk mencapai cita-cita kita bersama dalam membahagiakan orangtua kita.

I love you Chacha... :')

Komentar