Hidup mengajarkan kita banyak hal. Entah berapa kali saya tulis kalimat itu di blog saya, menyebutnya di keseharian saya, dan memikirkannya di diri saya sendiri. Kenyataannya memang seperti itu, bukan? Dari apa yang kita alami, orang lain alami, dari kesalahan yang kita perbuat, yang orang lain perbuat, dari sikap orang lain terhadap kita dan sebaliknya, kita semakin belajar tentang hidup. Tentang segala sesuatunya.
Satu contoh terkecil saja. Setelah tahu bahwa dicubit itu sakit, kalau kita berpikir, belajar dari situ, dan gak mau orang lain merasakan rasa sakit yang sama dengan yang kita alami (dan gak mau dicubit balik tentunya :P), ke depan kita tidak akan mencubit orang lain seenaknya, karena kita tahu seperti apa rasanya.
Contoh lebih besar dari sekedar cubit-cubitan itu di keseharian kita pastinya lebih banyak lagi ya. Makin banyak contoh, tentunya makin banyak juga pelajaran yang bisa kita ambil, bukan? Ya, biarpun sifat dasar manusia yaitu khilaf tetep aja suka bikin "pelajaran-pelajaran" itu mendadak hilang dari pikiran dan ngumpet entah di mana, yang kadang bikin kita tetep menyakiti hati orang, bahkan berbuat kesalahan yang sama, meskipun sudah banyak contoh yang kita lihat, kita dapat, bahan kita rasain sendiri. Manusiawi, katanya. Wallahualam...
Kenapa saya tiba-tiba ngebahas ini? Well..ceritanya lagi pengen kasih summary buat diri sendiri dari apa yang terjadi di sekeliling saya akhir-akhir ini. Ngarepnya sih pengen metik pelajaran dari itu semua. Sukur-sukur ke depannya ga pake acara "lupa". Sukur-sukur juga bisa berguna buat yang baca.. :)
Pernah dapet pertanyaan, "Lo kerja di perusahaan A ya? Ada koneksi siapa di situ?" atau bahkan pernyataan "Lo sih enak ortu masih sama-sama kerja, masih bisa minta subsidi!" Ya!!! Ini contoh lain, yang lebih besar dari kasus cubit-cubitan yang saya sebutin di atas. Sakit dan ga ngenakin banget dengernya. Apalagi pertanyaan atau pernyataan itu diterima dari orang-orang yang sehari-hari berada di sekitar kita.
Sampe sekarang saya enggak habis pikir, seperti apa sih sebenernya jalan pikiran orang-orang yang punya keberanian sedemikian tinggi, punya daya saring kata-kata yang sedemikian lemah, untuk akhirnya meluncurkan pertanyaan bahkan pernyataan seperti itu? Katakanlah si perusahaan A memang terkenal dengan nepotismenya, tapi apakah pertanyaan itu pantas dia tujukan? Apa pantas memukul rata semua pekerja perusahaan A, menggeneralisasikannya menggunakan jalur koneksi seperti apa yang tertanam di pikirannya? Katakan pula banyak kasus orangtua bekerja yang masih menyubsidi anak-anaknya yang sudah dewasa bahkan juga sudah bekerja, apa pantas memukul rata semua anak-anak dari orangtua bekerja lainnya juga melakukan hal yang sama, alias "mengambil keuntungan" dari kedua orangtuanya yang masih produktif secara finansial?
That's cruel!!!
Mereka yang menggunakan koneksi di sana-sini, atau mereka yang masih memanfaatkan subsidi orangtua meski dirinya bisa mencukupi kebutuhan dengan penghasilan sendiri, sungguh bukan urusan saya. Bukan itu yang saya ingin permasalahkan di sini. Tapi pertanyaan dan pernyataan skeptis, bahkan cenderung sarkastis yang terlontar dari orang-orang sekitar, kadang bikin saya murka (dalam hati :P) dan membatin sendiri. Mendengarnya, seolah-olah serangkaian tes yang saya lakukan untuk diterima bekerja, kerja keras dan doa yang mengiringi saya untuk bisa mendapatkannya itu nol besar. Mendengarnya, semua kerja keras dan perjuangan saya (beserta suami), menjual itu ini yang kami punya, mengumpulkan sen demi sen untuk akhirnya bisa mendapatkan impian terbesar kami (let's say, rumah misalnya), serta doa yang mengiringinya itu juga nol besar. Sedih memang, ketika perjuangan dan kerja keras sendiri dianggap merupakan hasil "katrolan" orang lain, atau ketika usaha dan pengorbanan sendiri seakan dihapus begitu saja dan tidak dianggap ada. Tapi yah, itulah hidup. Ketika lebih banyak orang yang "merasa pintar" daripada yang "pintar merasa", hal-hal sepicik itulah yang kerap dipertanyakan dan dipernyatakan. Dari situlah saya (lagi-lagi) mendapat pelajaran berharga. Dan semoga saya benar-benar belajar dari itu semua.
Besar dalam keluarga yang menjunjung tinggi usaha, kerja keras, dan disiplin dalam banyak hal, termasuk keuangan, sejak saya kecil, tak ada istilah manja, tak ada istilah tinggal tunjuk, tinggal minta, atau tinggal sebut untuk mendapatkan sesuatu. Hasil akan didapat oleh kami yang mau berusaha keras. Jika malas, jangan harap mendapat apa-apa. Hal itu tertanam betul dalam pikiran saya. Ya, hidup mutlak membutuhkan usaha dan kerja keras dari diri sendiri. Meski pertolongan Tuhan bisa datang dari mana saja dan melalui siapa saja, tak sepantasnya menggantungkan sesuatu hal hanya kepada manusia.
Dalam hal mendapatkan pekerjaan misalnya. Meski orangtua saya bergaul dengan lingkungan beberapa perusahaan, yang mungkin secara awam akan mudah mengoneksikan saya dengan lingkungan tersebut, tak ada sedikit pun tergelitik dalam hati saya untuk memanfaatkan itu. Orangtua pun demikian. Orangtua saya tetap "membiarkan" saya menjalani masa-masa menganggur hingga delapan bulan setelah lulus, melingkari lowongan demi lowongan di koran, dan mendatangi job fair demi job fair demi sebuah wawancara dan membuka peluang untuk mendapatkan pekerjaan. "Hanya" doa yang tak pernah putus dan dukungan finansial secukupnya yang mereka berikan selama saya menganggur. Tidak ada "kemudahan" yang mereka tawarkan. Bukan karena tak sayang, tapi saya lebih melihat hal itu sebagai pola didik mereka yang somehow menjadikan saya lebih mandiri. Justru menurut saya, itulah kasih sayang orangtua yang sesungguhnya. Membiarkan anaknya berusaha, bekerja keras semampu mereka. Alhamdulillah, dari dua kali kerja magang dan dua kali dua kerja permanen, semua saya dapat dari hasil saya mencari sendiri, hasil kerja keras saya hingga akhirnya mendapatkannya, dengan tentunya diikuti dukungan dan doa orangtua.
Begitu juga dalam memenuhi kebutuhan dan mendapatkan sesuatu yang saya mau. Setelah officially bekerja dan berpenghasilan sendiri, tak ada istilah "disubsidi" orangtua dalam kamus saya. Bukan bermaksud sombong apalagi penghasilan saya sendiri tak seberapa, saya hanya merasa sudah cukup banyak merepotkan dan menghabiskan banyak uang mereka selama saya hidup hingga saya lulus kuliah dan menganggur berbulan-bulan. Setelah saya bekerja, saya berpikir, sudah waktunya saya sebagai anak justru membantu mereka. Sudah waktunya orangtua menikmati hasil keringatnya secara utuh. Memikirkan diri mereka sendiri. Menabung untuk keperluan mereka sendiri. Biarlah kami anak-anaknya memenuhi kebutuhan kami, menabung dan bersusah payah sendiri untuk memenuhi apa yang kami inginkan. Terlepas jika pada akhirnya orangtua menawarkan bantuan, karena mereka berpikir kami membutuhkan, saya selalu menganggap itu pinjaman. Pinjaman yang tentunya harus dan akan dibayar, yang akan kembali kepada mereka, untuk kepentingan mereka. Itu prinsip saya.
So, apalah rasanya jika semua kerja keras itu tidak dianggap ada. Apalah rasanya jika yang saya raih sekarang dianggap hanya karena kemudahan demi kemudahan yang saya terima, tanpa kerja keras saya. Apakah saya dinilai sedemikian tidak pantas berada di sini, dan mendapat apa yang saya miliki hari ini dengan kerja keras sendiri? Ya, mereka yang berkata seperti itu mungkin hanya bisa melihat hasil akhirnya. Tanpa (mau) melihat proses yang telah saya jalani. Tapi, menurut saya, lebih baik diam sama sekali, atau berhati-hati dalam bertanya maupun berkata-kata, jika memang tidak tahu apa-apa. Bukan begitu?
Well, hidup memang mengajarkan kita banyak hal ya? Dan semoga saja kita benar-benar (mau) belajar.. :) Adioooss...
peace & love
@cy
Komentar
Mungkin banyak yang menerima "kemudahan" di luar sana nganggap semua itu sah-sah aja, dengan berbagai alasan dan latar belakang yang mereka punya. Bahkan mungkin gak sedikit yang menggeneralisasikan orang lain juga menikmati "kemudahan" yang sama dengan mereka.
It's all about choices sih ya..
Wallahualam... :)