Tulisan ini berangkat dari kegemasan saya terhadap gaya hidup (sebagian) orang-orang berduit di luar sana. Well..meski saya udah dapet gambaran kehidupan sebagian dari mereka (dengan tingkatan yang berbeda-beda tentunya) dari apa yang saya liat sehari-hari dan saya baca dari beberapa referensi, tapi editan rubrik Selisik Pikiran Rakyat terbitan Senin 12 Maret lalu, ditambah lagi cerita dari teman-teman wartawan yang langsung meliput gaya hidup supermahal mereka, udah bener-bener bikin saya ternganga.
Bandung Bling-bling. Itulah topik yang diangkat tim redaksi untuk suplemen yang terbit dua minggu sekali ini. Isinya memang bukan melulu tentang gaya hidup para kaum borjuis Bandung dengan segala harta benda yang mereka punya. Di balik itu, diulas pula kunci sukses mereka dalam berbisnis, berusaha, hingga mendapatkan pundi-pundi uang yang tak terhitung jumlahnya. Tapi, dalam hal ini, hati saya tergelitik untuk terlebih dulu membahas apa yang saya sebutkan paling pertama. Ya, gaya para kaum borjuis, yang saking kayanya, disebut-sebut bisa menurunkan gelar borjunya itu hingga ke generasi ke-7. Saya pun gak akan dulu jauh-jauh membahas koleksi mobil, berlian, bahkan pesawat pribadi yang mereka miliki. Saya hanya akan mengutip bagian "terkecil" dari gaya hidup mereka dulu saja. It's fashion goods.
**
Shopping. Mendengarnya sungguh tempting. Menurut saya, ada beberapa kategori manusia yang melakukan kegiatan ini. Mulai dari mereka yang berbelanja berdasarkan kebutuhan, berdasarkan keinginan, hingga mereka yang melakukannya berdasarkan tuntutan lingkungan atas nama investasi yang tak jarang berkedok gengsi, dan pertaruhan harga diri. Pada dasarnya, setiap manusia terlahir konsumtif. Yang membedakan tentunya adalah tingkat kebutuhan dan kemampuan dari masing-masing individu, dan bagaimana mereka memanage semua itu. Dengan membelanjakan uang yang kita punya untuk memperoleh barang yang kita butuhkan atau inginkan, kita tentu mendapat kesenangan atau kepuasan ketika kebutuhan atau keinginan kita itu dapat terpenuhi. Bagi mereka yang berbelanja berdasarkan kebutuhan, mereka bisa menunda keinginan berbelanjanya saat ia kembali berada dalam tahap membutuhkan sesuatu. Tapi bagi mereka yang berbelanja berdasarkan keinginan ataupun tuntutan, apalagi berbekal meteri yang cukup bahkan berlebih, tak jarang mereka malah diperbudak oleh keinginan atau tuntutan itu sendiri, hingga tak sanggup menahan diri.
Bagi (sebagian) kalangan borjuis, barang-barang branded kerap menjadi incaran dalam berbelanja. Berbagai barang yang bersifat sekunder, bahkan tersier, rela mereka dapatkan meski harus menguras kocek yang sangat tebal. Sebut saja fashion, gadget, kendaraan, hingga properti serbawah yang mereka gunakan, sering kali menjadi patokan gengsi akan keberhasilan, kesuksesan, dan kekayaan yang mereka punya.
Dalam hal fashion, salah seorang rekan wartawan di harian Pikiran Rakyat menyoroti seorang kolektor tas bermerek. Kolektor ini merupakan seorang pengusaha butik yang cukup sukses di Bandung, yang mengaku memiliki banyak koleksi tas branded dengan harga sangat mahal. Bayangkan, salah satu tas Hermes yang ia punya, ada yang dibanderol seharga Rp 150 juta. Dan di luar tas itu, masih banyak tas koleksinya yang harganya berkisar jutaan hingga puluhan juta. Wow!!!
Bagi pekerja sekelas saya, angka itu jelas sangat fantastis. Jelas aja, dengan uang yang dikeluarkan sang kolektor untuk membeli satu TAS Hermes, saya dan suami bisa melunasi RUMAH yang hanya sanggup kami beli dengan cara mencicil via KPR. Bagi mereka yang hidup di jalanan, nilai uang tersebut tentu lebih fantastis lagi. Dengan uang yang dikeluarkan kolektor tersebut untuk membeli satu TAS itu juga, sekelompok anak jalanan yang saya lihat berkeliaran hampir setiap hari di Perempatan Pasir Koja (terlepas dari dugaan ada yang mengerakkan), mungkin bisa mendapatkan hidup yang lebih sejahtera sehingga tak perlu lagi turun ke jalan, bisa tercukupi makan, bersekolah, dan tinggal di tempat yang layak.
Dari satu TAS saja bagi si kaya, lihatlah apa artinya bagi yang tak "bernasib" sama dengannya.
Dalam hal ini, saya tidak menyalahkan mereka yang kaya, tidak menyalahkan diri saya sendiri, apalagi mereka yang hidupnya masih menggelandang di jalanan. Saya pun tidak iri pada mereka yang kaya, tidak bermaksud tak bersyukur akan hidup yang saya punya, apalagi menghina mereka yang masih harus hidup meminta-minta. Saya hanya miris melihat kenyataan yang kini ada di depan mata. Di saat satu kaum menghabiskan ratusan juta untuk satu buah tas bermerek yang mungkin hanya digunakannya untuk menampung dompet, beauty case, dan gadget yang mereka punya, kaum lainnya harus mencicil uang ratusan juta itu selama belasan tahun lamanya untuk membeli tempat tinggal yang dihuninya bersama keluarga yang dicintainya. Di saat satu kaum menghambur-hamburkan uang untuk shopping barang-barang branded berharga ratusan juta & berlibur keliling dunia, kaum lainnya menengadahkan tangan meminta recehan untuk makan, di tengah hujan deras, bahkan terpaan panasnya matahari (terlepas dari mereka yang benar-benar menderita atau yang hanya berpura-pura). Isn't it ironic?
Di saat si kaya semakin kaya, si miskin malah semakin miskin. Di saat si kaya semakin mudah mendapatkan uang dan menghambur-hamburkannya, si miskin malah semakin sulit untuk sekedar mendapatkan recehan, apalagi bisa teratur makan, dan tinggal di tempat yang nyaman. Sungguh miris. Di negeri yang menurut Bank Dunia ekonominya berkembang pesat ini, masih luar biasa banyak ditemukan mereka yang miskin di setiap sudut kota, mereka yang tak sekolah, mereka yang tak punya rumah hingga harus menggelandang dari satu emperan ke emperan lainnya, mereka yang pasrah dengan penyakit yang diderita karena tak memiliki biaya untuk mengobatinya. Somehow, saya berpikir, gap yang sangat jauh, segala kemirisan itu, seakan semakin memperlihatkan rendahnya kepedulian kita terhadap sesama.
Untuk mempersempit jaraknya, tentu yang dibutuhkan adalah kepedulian yang lebih dari kita agar dapat membantu mereka yang papa. Membayar zakat, membayar pajak, dan bersedekah kepada mereka yang membutuhkan adalah sebagian dari bentuk kepedulian yang bisa kita lakukan. Bagi orang-orang yang memiliki limpahan harta, tentunya kepedulian pun bisa ditunjukkan dalam bentuk yang lebih besar lagi. Mendirikan yayasan sosial, memberikan beasiswa, bahkan modal usaha bagi yang memerlukan, demi perbaikan taraf hidup mereka. Dengan begitu, niscaya yang berada dan kaya raya akan semakin kaya hatinya, semakin berlimpah tabungan di akhiratnya, dan yang miskin akan tumbuh menjadi manusia berdaya dan mulia karena tak lagi meminta-minta. Feed those who are in hunger of food first, before you "feed" your "hunger" of (so called) "hedonistic life". Bismillah..semoga menjalankannya akan semudah mengetiknya..
So people, let's think about it. And do something about it...
peace & love
@cy
Komentar