Comfort Zone vs Courage Zone



Suasana kantor memang lagi enggak kondusif belakangan. Kayaknya lagi banyak yang dilanda kejenuhan akut, tanpa terkecuali saya. Alasannya tak perlu diumbar. Yang jelas, kami (walaupun mungkin enggak semua) sedang kehilangan semangat kerja.

Menurut saya pribadi, kejenuhan semacam ini sangat biasa terjadi di tempat kerja mana pun. Dan menurut saya, hal-hal seperti ini emang ada masanya. Ada kalanya kita punya semangat kerja menggila, ada kalanya pula semangat itu menghilang entah ke mana. Faktor pemicu naik turunnya siklus itu tentu banyak. Mulai dari pergantian atasan yang kurang sreg di hati, adanya "masalah" dengan rekan kerja yang secara aklamasi selesai tapi masih mangkel di hati, pola kerja yang begitu-gitu aja, karier mandeg diikuti gaji yang juga ikut-ikutan mandeg alias tak kunjung naik (hoalah..it all sounds so curhat gini yak :P), mungkin itu cuma sebagian kecil dari sekian banyak alasan kejenuhan lainnya. Lalu, adakah di antaranya yang mendera saya sekarang? Ada!! Sangat ada!!

So..how do i deal with it?

Sebagai orang yang (sangat) tidak ambisius, saya memang nggak pernah ngoyo ngadepin situasi sulit seperti yang saya sebut di atas tadi. I'll just go with the flow, wherever it brings me. Toh kembali ke "masanya" itu tadi. Saya percaya bahwa suatu saat masa-masa "membosankan" itu akan terlewati dan si semangat pun akan kembali. Kalaupun ada peluang untuk saya keluar dari situasi tadi, i'll try. Tapi kalo enggak, saya nggak pernah segimananya mencari, apalagi memaksakan diri seperti mengambil keputusan untuk resign dan mencari pekerjaan lain, misalnya. Uuhh..buat saya itu keputusan berat dan butuh pertimbangan yang sangat-sangat matang.

Bukannya pemikiran untuk resign itu tidak pernah terlintas. Bukan pula saya tidak ingin kualitas hidup saya lebih baik secara finansial dan karier ke depannya. Tapi, selain kecil dan sempitnya kemungkinan dan kesempatan yang ada untuk resign dan berpindah tempat kerja dengan segala "keterbatasan" yang saya punya sekarang (usia, status tidak lajang, dan bekal pendidikan seadanya :P), saya merasa apa yang saya dapat dan jalani saat ini sudah cukup, hanya tinggal mensyukuri dan mengembangkan diri di tengah segala "keterbatasan" ini. Saya pikir, apa jadinya saya jika setiap kali menghadapi "masalah" di tempat saya bekerja lantas saya ingin mengenyahkan diri, tanpa memikirkan alasan mengapa saya melakukan ini semua (baca: bekerja)? Apa jadinya saya jika setiap kali didera kejenuhan dan kelelahan saya memutuskan untuk resign?

Well, setiap orang tentunya bebas menentukan pilihan. Saya tak bisa menyalahkan mereka yang bak "kutu loncat",  loncat ke sana ke mari berpindah kerja sesuka hati (ko macam kera sakti :P) demi perubahan dan perbaikan kualitas kehidupan dan karier mereka. Saya juga tak bisa meremehkan mereka yang betah berada dalam zona nyaman (yang tampak seolah tak punya impian) yang memutuskan untuk menjalani kehidupan layaknya roda berputar. Menikmati dan mensyukuri di kala berada di atas, berpasrah diri ketika berada di bawah dan menjadikan masa-masa itu sebagai fase yang memang harus dilewati sebelum kemudian roda itu kembali membawa mereka ke tingkat yang lebih tinggi.

Hingga suatu hari, sebuah blog mengingatkan saya.

Dalam situasi seperti ini, saya pun membayangkan diri saya berada di dalam stasiun kereta yang banyak dipenuhi calon penumpang. Karena kereta datang terlambat, banyak calon penumpang terpaksa berjejalan di stasiun. Saking ramainya, sebagian besar dari mereka tidak kebagian tempat duduk sambil menunggu, bahkan melantai karena tak kuat menahan pegal.
Pada kondisi memprihatinkan tersebut, sekadar mendaratkan pantat di tembok pinggiran pagar di stasiun tersebut sudah terasa sebuah kemewahan bagi para calon penumpang. Katakanlah, saya adalah salah satu di antara "si beruntung" itu. Ada rasa tak ingin beranjak dari "bangku" sederhana itu sekadar untuk membeli makanan ringan atau pergi buang air kecil. Karena sudah bisa dipastikan, "bangku" yang saya tinggalkan akan segera menjadi bahan rebutan. Atas nama kenyamanan, saya pun memilih untuk tetap duduk meski harus menahan rasa haus atau keinginan untuk buang air kecil. Yah begitulah. Pada kondisi itu saya sudah berada di zona nyaman sehingga keberatan untuk beranjak kecuali kereta yang saya tunggu sudah benar-benar tiba di stasiun.
Ya saya akui saya memang sudah kadung merasa nyaman di dalam sini. Meski melewati pasang surut silih berganti, saya merasa sudah menemukan passion saya di sini. Seperti yang saya bilang di atas tadi, dengan apa yang saya miliki dan jalani saat ini, saya merasa hanya tinggal mensyukuri sambil tak lelah mengembangkan diri. Saking nyamannya, semua hal sudah menjadi rutinitas. Saking sudah terbiasanya, apa yang saya kerjakan ini terasa sedemikian mudah. Kenyamanan ini melenakan, memang. Tak bisa dimungkiri, karena rasa nyaman ini juga saya menjadi malas bahkan takut untuk keluar dari zona tempat sekarang saya berada. Apalagi dengan segala "keterbatasan" dan kurangnya "bekal" yang saya punya. Semakinlah saya takut untuk "melangkah" ke luar.
Konon, terlalu lama berada di zona nyaman akan membuat seseorang sangat sulit menerima perubahan. Kenapa? Salah satunya mungkin karena paradigma bahwa perubahan belum tentu akan mengarah kepada hal yang lebih baik. Ya, saya pun merasa demikian, dan perasaan ini saya sinkronkan dengan segala keterbatasan saya yang..agak sulit bagi saya untuk mengarahkan perubahan itu ke arah lebih baik.  
Jika saja saya terlepas dari apa yang saya sebut dengan "keterbatasan" ini, mau sedikit lebih ambisius, melanjutkan kuliah demi bekal pendidikan yang lebih tinggi, berstatus lajang, berada di usia muda dengan jiwa yang penuh semangat perubahan, mungkin saya akan dengan gagah berani meninggalkan pekerjaan yang satu untuk mencoba pekerjaan yang lainnya demi suatu perubahan dan perbaikan.

Tetapi dengan kondisi saya yang sebaliknya, saya tak seberani itu. 
Saya yang hingga saat ini masih bergelar Diploma III, berstatus menikah, dengan usia dan semangat yang tak seberapi-api kaum muda *halah*, tak merasa bahwa berbetah-betah di zona nyaman ini sebagai suatu kesalahan. Saya hanya berusaha mensyukuri hidup, mengembangkan diri, dan memanfaatkan peluang-peluang kecil (jika ada) di tengah segala "keterbatasan" yang saya punya. Toh, hidup tetap harus berjalan. Saya harus tetap survive di dalamnya, meskipun bertahan di zona nyaman menjadi satu-satunya pilihan. Lagi pula, keterbatasan ini tak seharusnya membuat saya terpuruk, bukan?
 Bagi Anda yang tengah didera rasa bosan, ditambah rasa kecewa terhadap tempat Anda bekerja dan sangat ingin hengkang, menurut saya, tidak bijak rasanya jika Anda menumpahkan segala kekesalan itu dengan memberi pengaruh buruk kepada rekan kerja Anda. Karena bukan tidak mungkin, rekan kerja Anda tersebut justru sedang merasa sangat nyaman bekerja dan sangat mensyukuri kehidupannya di sana, sehingga “pengaruh” Anda niscaya akan merusak itu semua.
Bagi Anda yang sedang merasa bahwa tempat Anda bekerja bak ruang hampa tanpa harapan perbaikan bagi kehidupan dan tempat yang sangat tidak layak untuk Anda tempati sebagai pekerja, sangat tidak bijak rasanya jika Anda menyeret rekan kerja Anda untuk berada dalam anggapan dan merasa berada dalam situasi serupa. Karena bukan tidak mungkin, apa yang Anda anggap “ruang hampa” itu justru menjadi ladang nafkah, jalan kehidupan, bahkan titian tangga menuju cita-cita, sehingga niscaya “pengaruh” Anda itu akan mengaburkan impian yang mereka punya.

Let us think about it..     

And here I am..trying to expand my comfort zone.

peace & love

@cy

Komentar