My Dream(s) Come True... :)



Jauh sebelum Kalilla ada, saya pernah memposting tulisan ini. Di postingan itu tertulis jelas apa cita-cita saya dari masa ke masa, di mana saya pernah ingin menjadi dokter, guru, hingga akhirnya pilihan terakhir jatuh pada wartawan. Ya, wartawan. Profesi yang menurut saya akan mengantarkan saya ke tempat-tempat baru, pada banyak pengalaman baru, semakin memperluas jejaring dan wawasan saya, dan membawa saya ke banyak hal-hal menantang sekaligus menyenangkan lainnya yang selama ini pernah menjadi mimpi saya.
Dan minggu lalu, tawaran untuk mewujudkan cita-cita itu akhirnya datang. Seseorang menawari saya mengikuti seleksi wartawan secara internal untuk media cetak tempat saya bekerja. Berbekal pengalaman bekerja under pressure "setan" deadline, menyunting naskah berita sejak akhir 2007, menulis berita di rubrik Apa & Siapa dan suplemen Cakrawala sejak pertengahan 2008 lalu, sebenarnya saya cukup percaya diri mengikuti seleksi internal ini. Tapi...

Stripey girls' day out.. :) :*

Meski tergiur dengan berbagai pengalaman baru, jenjang karier, dan kesejahteraan yang lebih baik, jam kerjanya yang tak terbataslah yang membuat saya "harus" menolak tawaran tadi. Ya, tawaran yang mendekatkan saya dengan mimpi saya sebagai wartawan, akhirnya "terpaksa" tak saya ambil dengan alasan kualitas, kuantitas, dan keteraturan waktu bersama keluarga, terutama Kalilla, yang saat ini di atas segalanya bagi saya. Berada dalam satu ruangan dengan para wartawan dan kerap bertukar cerita dengan beberapa dari mereka, membuat saya paham betul jam kerja mereka yang sering kali tak terikat waktu. Belum lagi tugas luar daerah bahkan luar negeri yang kerap diberikan secara tiba-tiba, rasanya tak sanggup membayangkan harus menjalani itu semua di saat kini saya telah memiliki Kalilla. Jika saya telah menjalani rutinitas (yang tak rutin) sebagai wartawan sejak saya melajang, mungkin akan lain lagi ceritanya. Karena toh teman-teman wartawan saya pun kini sudah banyak yang berkeluarga dan tampak hepi-hepi aja dengan profesi mereka dan jam kerjanya dan tetep bisa punya waktu dengan keluarga kecilnya.  Tapi ketika saya ditawari untuk menjalani itu semua di saat kini saya punya Kalilla, rasanya berat untuk menerimanya. Rasanya gak sanggup juga ngebayangin jauh dari Kalilla dalam waktu lama, bahkan tak tentu waktunya.

Ga bisa dimungkiri, jauh di dalam lubuk hati saya *caelaaaah*, saya bener-bener excited dengan adanya penawaran ini. Mungkin kalau tawaran ini datang sebelum saya menikah, atau sebelum Kalilla ada, saya akan langsung mengiyakan tawarannya. Tapi dengan kondisi saya sekarang, yang justru lebih terbayang adalah kebersamaan saya dengan Kalilla di masa keemasannya, bukan impian menjadi wartawan yang telah saya pendam sejak lama. Jika penawaran itu saya terima, bagaimana kalau tiba-tiba job desk baru sebagai seorang wartawan mengharuskan saya untuk bekerja mobile, mendapat tugas mendadak ke luar daerah bahkan ke luar negeri, atau membawa pulang pekerjaan saya ke rumah? Sementara waktu saya di rumah selama ini benar-benar saya manfaatkan untuk bonding bersama Kalilla. Jangankan tugas mendadak ke luar daerah atau ke luar negeri seperti yang sering kali dialami teman-teman wartawan lainnya. Baru ditinggal kerja sif malam saja Kalilla sering rewel menjelang jam tidur karena saya ga ada di rumah. Begitu juga saya yang sering senewen di kantor di jam-jam tidur Kalilla, karena merasa momen ngelonin tidur itu benar-benar berharga buat saya. Jangankan membawa pulang pekerjaan ke rumah yang tentunya akan menyita quality time saya dengan Kalilla. Selama ini, Blackberry saya saja hampir tidak pernah saya sentuh selama saya berada di rumah, karena tak mau perhatian saya teralihkan dari makhluk mungil yang sedang teramat sangat memerlukan perhatian saya. Maka, jika bonding yang telah saya miliki dengan Kalilla selama ini tiba-tiba terenggut begitu saja karena job desk dan jam kerja yang jelas jauh berbeda, saya pasti akan sangat tersiksa, saya rasa, begitu juga Kalilla.      

Malamnya, sepulang kerja setelah penawaran ini datang, saya pun menceritakannya kepada Dodo yang sedang libur hari itu. Dodo yang tahu betul apa mimpi-mimpi saya selama ini, terlihat senang walaupun kekhawatiran tetap tampak di raut wajahnya. "So how was it? Did you take it?" katanya sumringah. "Nope. I turned down that offer for this precious girl," jawab saya seraya menggendong Kalilla yang tampak senang melihat saya pulang.

Ya, saya sadar, bagaimanapun hidup saya akan berubah setelah Kalilla ada. Sekarang, bukan lagi semata-mata uang ataupun lompatan karir yang saya kejar. Bukan pula mimpi yang hanya menyertakan diri saya seorang. Tetapi kebahagiaan untuk bisa selama mungkin bersama orang-orang terkasih di sekeliling saya, dan mensyukuri segala nikmat yang kami punya. Apalagi, di masa keemasan Kalilla seperti sekarang ini, akan ada banyak hal yang tak pernah bisa diulang. Dan keputusan saya menanggalkan mimpi saya untuk menjadi seorang wartawan, semata-mata karena saya tak mau masa keemasan itu berlalu begitu saya tanpa saya bisa menikmatinya.

"See how this girl could make you ditched your dream, dear. I'm proud of you," kata Dodo sambil memeluk kami. "No. She's my dream come true," jawab saya, dengan pelukan yang lebih erat lagi dari sebelumnya.


Bismillah, semoga keputusan ini tepat adanya...


peace & love


@cy

Komentar