Cita-cita



 "Astri, kalau udah besar mau jadi apa?" | "Dokter!!!" jawab saya mantap.

Bukan hanya Susan yang kepingin jadi dokter. Dulu, saya juga begitu.. :D Jawaban "dokter" itu seakan sudah diset di kepala saya semasa saya kecil dulu. Setiap kali pertanyaan tentang cita-cita diajukan, "dokter" lah yang akan selalu keluar dari mulut saya. Seakan meluncur tanpa ragu karena memang enggak ada jawaban lain, selalu kata itu yang selalu saya sebut. Yah..namanya juga anak TK. Waktu menyebut cita-cita, mana ngerti saya kalo perjalanan untuk jadi seorang dokter itu sangatlah enggak gampang. Berbekal keinginan saja tentu enggak cukup ya. Selain karena jalan hidup yang sudah digariskan Tuhan, keenceran otak saya, ketebalan kantong orangtua :P dan tentu saja kesungguhan untuk mendalaminya sudah pasti harus saya punya, barulah cita-cita dokter semasa saya TK itu bisa benar-benar diwujudkan.Sayangnya, poin-poin tadi gak berpihak pada saya. Jadilah "dokter" itu hanya sebatas angan-angan saya semasa kecil saja.

Keukeuhnya Astri kecil menjadikan "dokter" sebagai cita-cita pun bukan tanpa alasan. Well..mungkin belum pernah saya sebut di sini sebelumnya ya, tapi sejak usia 3 tahun, saya memang sudah sangat akrab dengan rumah sakit dan tentu saja dokter yang kala itu menjadi semacam "dewa penolong" bagi saya. Semasa TK, Astri kecil yang masih sering bolak-balik rumah sakit dan bertemu dengan beberapa dokter pun masih menganggapnya demikian. Bagaimana sang dokter mencurahkan perhatiannya kepada saya sewaktu kecil sebagai pasiennya, menanyakan keadaan saya yang kala itu harus menjalani operasi kaki dengan ramahnya, mendatangi ruang inap hingga beberapa kali dalam sehari untuk memastikan kondisi saya, memberikan obat yang selalu dipercaya dapat menyembuhkannya, semua itu selalu membuat saya, si Astri kecil terkagum-kagum. Saking kagumnya terhadap sosok "dokter" kala itu, saya pun menjadikannya sebagai cita-cita.

Tapi, itu enggak berlangsung lama. Saya yang semasa SD memang terbilang benci (dan lemah :P) dalam pelajaran hitungan dan lebih menyukai pelajaran bahasa, sering ditakut-takuti kakak laki-laki saya satu-satunya bahwa cita-cita dokter itu gak mungkin bisa saya capai. Setiap minta bantuan kakak (yang memang banci eksakta :P) mengerjakan PR matematika, seingat saya, yang sering keluar dari mulutnya tidak jauh dari.. "Cita,cita dokter, tapi begini aja gak bisa!!!" :D Dan ya..cercaan si kakak itu memang mujarab untuk menjauhkan kata "dokter" sebagai jawaban untuk setiap pertanyaan cita-cita yang diajukan pada saya berikutnya. Tak ada lagi kata dokter saya sebut atau saya tulis dalam biodata yang saya isikan di buku diary teman-teman semasa SD. Dan kala itu, kolom cita-cita sering kali saya gantikan dengan "guru". Kenapa guru?

Keinginan saya untuk menjadi guru berawal dari sosok wali kelas yang saya kagumi semasa masih duduk di bangku kelas V SD Brimob, yang membuat saya merasa sangat ingin seperti beliau. Ibu Darliah namanya. Guru yang sabar, yang dekat dengan semua muridnya tanpa terkecuali, dan juga peduli pada kesulitan-kesulitan yang kami hadapi. Tau bahwa saya dan beberapa teman lainnya kurang dalam pelajaran hitungan, Ibu Darliah sering mengundang saya ke rumahnya untuk mendapat pelajaran tambahan di hari-hari tertentu. Tau bahwa saya memiliki kelebihan di pelajaran lain seperti bahasa Indonesia misalnya (sejak SD saya suka sekali pelajaran ini, terutama jika ditugasi untuk mengarang cerita :P), Ibu Darliah mendukung habis-habisan sampai mengirimkan beberapa cerpen karangan saya ke majalah Bobo, meski tak satu pun yang berhasil dimuat.. :P Meskipun begitu, Ibu Darliah terus meyakinkan saya untuk tidak berhenti menulis dan mengarang cerita apa saja untuk mengembangkan imajinasi saya. Dia terus meyakinkan saya bahwa kala itu (CATET, kala itu!! :P) saya memiliki bakat menulis, meskipun cerpen yang saya buat berikutnya sering kali hanya berujung di buku tulis Sinar Dunia, bukan Bobo, atau majalah anak-anak lainnya.. :D

Lalu, sampe di situ sajakah perjalanan cita-cita saya?? Of course not!! :D Sempat ingin jadi penyiar televisi karena kagum melihat sosok Dana Iswara (ini cita-cita ngayal total judulnya :P), sempat juga ingin jadi desainer interior karena ketertarikan saya terhadap dekorasi rumah dan segala perintilannya, sampe akhirnya ingin jadi wartawan karena hobi saya menulis dan bercerita banyak hal dalam bentuk tulisan (meskipun untuk jadi wartawan tentu tidak hanya cukup dengan modal itu saja ya :P). Ya, semua cita-cita itu silih berganti dengan mudahnya. Sebaliknya, menjalani dan *menyeriusi (bahasa apa ini? :P) salah satuuuuuu saja di antaranya, seakan sangat sulit bagi saya.

Lalu, setelah sekian kali berganti-ganti cita-cita, berganti arah dan tujuan hidup *halah*, di manakah saya sekarang?

Setelah sempat merasakan menjadi penyiar radio dadakan sewaktu ikut ajang Ladeejay di Sky FM Bandung, sempat juga mecicipi cita-cita masa kecil sebagai seorang guru ketika menjalani PKL semasa kuliah dulu, kemudian menjalani profesi yang jauh dari bayangan apalagi saya cita-citakan, yakni sebagai seorang customer service perusahaan seluler, here i am now..terdampar *halah* di redaksi salah satu media cetak Jawa Barat. Bukan..bukan sebagai wartawan seperti apa yang pernah (dan..emmmhh..masih :p) ada dalam angan dan cita-cita saya, tapi sebagai seorang staf penyunting bahasa. Sekarang, saya hanya mencicipi sebagian kecil dari apa yang saya cita-citakan. Duduk dikelilingi para wartawan, mengedit berita demi berita yang mereka buat, sambil terkadang larut membayangkan keseruan dan banyak orang yang ditemui selama peliputan, membayangkan suasana baru yang ditemui ketika ditugaskan ke sana ke mari, dan membayangkan merasakan sendiri semua pengalaman-pengalaman itu. Lihatlah betapa dekat saya dengan cita-cita saya itu, meski tak dapat menyelami sepenuhnya pengalaman-pengalaman luar biasa yang selalu ada dalam angan-angan saya.

Afterall..I do believe that I can't always get what I want. What I am now, what I have now, it's all God's plan..and definitely what I deserve. Mengingat usaha dan keseriusan saya yang setengah-setengah untuk meraih cita-cita saya yang satu ini, saya rasa saya pun tidak pantas untuk menyesal.. :P Menoleh ke belakang dan berharap bisa berbuat lebih sehingga semua mimpi saya bisa terwujud tentu percuma, karena toh waktu tak pernah bisa kembali.

But somehow, saya banyak belajar dari itu semua. Dari kegagalan saya meraih apa yang saya cita-citakan, kegagalan saya memulai langkah saya, melawan ketidakpercayaan pada diri sendiri, dari ini semua saya belajar. Dan kini, di tengah banyaknya angan-angan dan impian saya yang masih tersisa, saya pun menyemangati diri sendiri untuk berusaha lebih baik dari sebelumnya.

Seseorang kembali mengingatkan saya bahwa mencapai sesuatu yang kita impikan atau cita-citakan itu ibarat mengayuh sepeda. Kayuhan pertama adalah yang terasa sangat berat dan menyiksa. Sekarang mari beranikan diri untuk memulai ini semua meski dengan kayuhan berat, hingga akhirnya semakin ringan dan tibalah saya pada apa yang dicita-citakan. Amin. Semangatt!!! \(^_^)/


*dedicated to you, who knows what I'm talking about, dan yang selalu memberiku semangat... :)


peace & love


@cy

Komentar