MUNGKIN ini semacam berutang pada buku harian. Ya, saya ngerasa punya banyaaak banget utang cerita ke blog saya ini. Saya yang jadiin blog ini semacem memorabilia, tentunya ga mau cerita yang ada di dalemnya loncat-loncat random begitu aja. Apalagi banyak juga momen yang saya lewatin beberapa bulan terakhir tanpa sempat saya tulis di sini. Dimulai dari momen cuti melahirkan, Lebaran, persiapan persalinan, pascapersalinan, dan sekarang, setelah saya aktif bekerja lagi dengan status baru, sebagai seorang ibu.. *ahiw* :)
Baiklah. Tanpa membuang-buang waktu, sekaraaaaaang... *drum roll* waktunyaaaa membayaaaar utaaaang... *dibaca dengan suara ala Doraemon* :D
Cuti Melahirkan & Lebaran
Masa cuti 3 bulan yang udah jadi impian saya sejak awal menikah, akhirnya bisa saya rasain juga. Saya cukup bangga pada diri sendiri dan Lil' One. Karena setelah melewati hampir 9 bulan kandungan sambil tetap aktif bekerja, belum lagi perjalanan yang ditempuh terkadang harus saya habiskan sendiri dengan angkot, ga ada keluhan berarti yang saya rasain selama masa-masa itu. Kandungan saya kuat, saya dan Lil' One pun alhamdulillah selalu sehat. Masa-masa sulit di trimester awal dan akhir yang dihabiskan sambil bekerja 8 jam setiap harinya (plus kerja night shift di awal hamil) akhirnya berhasil kami lewati dengan baik. Hanya tinggal menunggu waktu kapan Lil' One terlahir ke dunia, sambil menikmati masa-masa cuti yang sangat saya nanti-nanti itu.. ;)
Meskipun HPL dari Dokter Ruswana dan Bidan Euis (pengganti Bidang Awang) menyatakan bahwa si kecil kemungkinan akan lahir setelah Lebaran (11 Agustus-16 Agustus 2013), saya yang mulai merasakan kontraksi palsu merasa perlu mengambil cuti lebih awal. Belum lagi kekhawatiran keluarga dan orang-orang sekitar dengan kondisi saya. Bayangin aja, dalam kondisi hamil tua saya harus ngantor pake angkot, dengan kondisi perbaikan jalan yang lagi happening banget di sana-sini (yang berimbas ke macet di mana-mana juga tentunya), plus pengguna jalan pada jam pulang kantor di bulan puasa yang..you know sebarbar apa, semuanyaaaa rebutan pengen cepet sampe rumah, alhasil mereka pada ugal-ugalan di jalan. Perut yang udah semakin turun dan kaki yang gampang bengkak pun akhirnya semakin membuat keluarga khawatir. So, setelah berkonsultasi dengan Dokter Ruswana, ngobrol-ngobrol dengan Dodo, keluarga, atasan, dan rekan kerja, saya pun memutuskan untuk mulai mengambil cuti melahirkan per 3 Agustus 2013.
Sejak cuti dimulai, kerjaan saya di rumah ga jauh dari bebenah rumah dan DVD marathon. Dengan catatan, bebenah seringan mungkin tapinya ya. Itu pun langsung berenti kalo memang badan udah ngerasa capek. Ngepel jongkok pun saya lakuin setiap hari sejak itu. Jalan-jalan di sekitar kompleks setiap subuh juga ampir ga pernah absen. Selain untuk memudahkan proses persalinan, saya aga ngarep dengan begitu Lil' One bisa lahir lebih awal dari HPL, toh waktu itu usia kandungan udah masuk usia 38 minggu.. (ceritanya ga kepengen cuti yang dimajuin abis sama bengong doang gitu..hihihi.. :P) Tapi yaaaah rencana tinggal rencana, Allah yang Mahatahu emang yang paling paham kapan waktu yang tepat buat si kecil lahir ke dunia.
Dua hari setelah mengambil cuti, 5 Agustus 2013, si kontraksi palsu yang sempat saya rasakan beberapa hari sebelum cuti itu pun datang lagi. Kali ini kontraksi datang mulai sering, tapi tiba-tiba menghilang. Kontraksi saya rasain selepas tengah malam. Maka begadanglah saya dan Dodo sambil menghitung interval kontraksi yang mulai rapat, dan mulesnya yang semakin maknyut (saking susahnya digambarin :P). Paginya, setelah sahur, flek pun mulai muncul. Bukan darah segar seperti yang dibilang bakal jadi pertanda semakin dekatnya persalinan memang. Tapi flek berupa darah kecokelatan yang cukup banyak itu lumayan bikin saya dan Dodo curious sekaligus excited. Sempet juga ada cairan merembes seperti sisa air kencing, saya mulai worried, khawatir kalo itu air ketuban. Sorenya, sepulang Dodo kerja, sambil jalan kaki sore kami pun langsung meluncur ke Bidan Euis untuk berkonsultasi. Karena sudah mulai timbul flek dan kontraksi sudah mulai rapat, Bubid pun mulai melakukan pengecekan dalam. Hasilnya, pembukaan belum sampai 1 cm katanya. Posisi kepala bayi pun belum benar-benar terkunci di panggul. Saya pun masih harus bersabar sambil mengaktifkan diri agar jalan lahir semakin terbuka dan Lil' One semakin menancapkan *halah* kepalanya ke rongga di panggul saya. Soal rembesan cairan pun kami konsultasikan. Bubid akhirnya menyarankan untuk mengecek jumlah air ketuban ke dokter kandungan. Karena Dr. Ruswana sedang tidak bertugas hari itu, malamnya, selepas buka puasa kami pun meluncur ke Dr. Deddy di RB Handayani untuk melakukan pengecekan air ketuban. Hasilnya, stok air ketuban dinyatakan masih mencukupi. Alhamdulillah kedalamannya masih lebih dari 10 cm.
Setelah malamnya sempat menghilang (lagi), keesokan harinya, 6 Agustus 2013, kontraksi kembali saya rasakan. Setelah dihitung, senat-senutnya semakin lama dan bisa sampai lima kali per jam. Dan lagi-lagi, setelah serapat itu intervalnya, sorenya kontraksi tidak lagi saya rasakan sama sekali. Di sinilah saya mulai galau. Antara excited, tapi juga bercampur sedih dan takut, sambil berusaha menanamkan positif thinking biar ga stress sendiri nunggu persalinan yang ga juga dateng sementara tanda-tandanya udah mulai sering saya rasain.
Saya, Chacha, dan perut Lebaran saya. Dan ya..it's about to pop pemirsa.. :D |
Afterall..tanda-tanda persalinan itu bener-bener ga saya rasain lagi sampe Idulfitri, 9 Agustus 2013. Ada sih senat senut kayak sakit perut nyeri mens gitu semalam sebelumnya. Sempet juga flek keluar lagi pas subuh di saat takbir bergema di mana-mana. Tapi ya itu..intervalnya ga serapat sebelum-sebelumnya. Feeling saya, Lil' One belum akan lahir hari itu. Itulah yang akhirnya bikin memantapkan diri saya untuk ikut sowan ke keluarga besar, meski dengan kondisi perut yang sudah kian berat dan semakin turun.
Momen Lebaran dilewatkan dengan sangat mulus. Ga ada keluhan berarti, ga ada juga kontraksi yang bikin saya meringis dan harus merebahkan diri. Yang ada ngobrol seru & ketawa-ketawa dengan para ponakan dan sepupu sampe kadang lupa kalo lagi hamil.. :D Last but not least, kumpul keluarga kali itu pun terasa lebih mengharukan karena sebagai calon ibu yang tinggal menunggu hari, saya mendapat banyak sekali doa dari sanak saudara. Setelah menghabiskan Lebaran hari pertama dengan keluarga saya, barulah pada Lebaran kedua saya sowan ke keluarga mertua. Lagi-lagi, dukungan dan doa menjelang persalinan saya terucap dari mana-mana. Alhamdulillah.. :)
The Day
Hari demi hari berlalu sejak Idulfitri. Kontraksi masih datang sesekali. Dodo yang tadinya ngotot mau ngambil cuti panjang setelah Lebaran, terpaksa saya larang karena saya khawatir malah cutinya habis buat nungguin saya nunggu mules doang.. :D Pikir saya, nanti aja kalo udah bener-bener pasti tanda-tanda persalinannya, barulah sisa cuti diabisin biar lebih lama nemenin saya dan Lil' One pascalahiran. Beberapa hari setelah Lebaran, tepatnya 13 Agustus 2013, saya dan Dodo pun sempat memeriksakan kandungan ke dr. Ruswana. Alhamdulillah, belio menyatakan kepala Lil' One completely sudah masuk panggul, sudah terkunci, hanya tinggal menunggu kontraksi semakin teratur. "Langsung hubungi saya kalau sudah mulai 5 menit sekali kontraksinya ya. Insya Allah, dua atau tiga hari lagi udah ada yang bikin rumah lebih rame," kata belio sambil memberikan surat pengantar. Aaah..saya bahkan masih inget gimana kami pulang dari RSIA Hermina hari itu dengan senyum mengembang. Kami bener-bener merasa tenang karena Lil' One sudah dalam posisi seharusnya, benar-benar hanya tinggal menunggu hari saja.
Rabu, tanggal 14 Agustus 2013 pun akhirnya datang. Hari di mana kontraksi sudah bener-bener teratur, semakin rapat, dan terus merapat sepanjang hari. Dodo, yang memang sudah ingin mengambil cuti sejak jauh-jauh hari, akhirnya memutuskan untuk memulai cutinya hari itu dan menemani saya memeriksa pembukaan. Dengan pertimbangan jarak, Bidan Euis pun akhirnya jadi pilihan kami untuk pemeriksaan pembukaan. Maksudnya kalo memang pembukaan belum bertambah, atau diperkirakan masih lama menuju lahiran, saya & Dodo masih bisa pulang ke rumah tanpa harus stay di rumah sakit lebih lama atau harus menginap lebih awal seperti yang saya khawatirkan. Siang hari, sekitar pukul 1, setelah diperiksa Bu Euis pembukaan dinyatakan masih 2 menuju 3. Saya pun disarankan untuk pulang dan banyak berjalan. Dia memperkirakan persalinan bisa saja terjadi malam itu atau besok paginya. Rute pulang dari klinik Bubid ke rumah yang kami tempuh dengan jalan kaki pun sengaja kami ambil memutar. Demi mempercepat bukaan, kami pun rela jalan-jalan tengah hari keliling kompleks sambil payungan berduaan..hahaha.. :D
Meski masih belum diputuskan apakah akan langsung meluncur ke RSIA Hermina atau ke klinik Bidan Euis kalau-kalau kontraksi semakin rapat lagi, setibanya di rumah Dodo langsung memasukkan satu tas besar berisi segala persiapan melahirkan yang udah dipak sejak jauh hari ke bagasi. Sementara saya yang hari itu udah mulai stay di rumah mama, masih ngerasa-rasain kontraksi kalau-kalau datang lagi dan mencatat waktu untuk menghitung intervalnya. Sesekali saya ajak Lil' One ngobrol. Excitement dari Bapak & Mamah yang masih libur Lebaran pun mulai semakin berasa. Bapak hampir gak pernah terlihat melepas tasbih di tangannya. Sesekali belio menghampiri dan mengelus perut saya. Mamah juga menyiapkan segalanya. Dari menyuapi saya makan, sampai meminumkan ramuan telur ayam kampung plus madu dan air hangat yang nahasnya bikin saya supermual dan akhirnya muntah sejadinya.. :( Too bad, padahal ramuan itu katanya untuk tenaga saya dalam proses persalinan nanti. Tapi setelah dicoba lagi pun perut saya bener-bener nolak. Terlalu enek rasanya. Saya pun pasrah. Sudahlah, tanpa ramuan bikinan Mamah pun bismilah saja pokonya.. :)
Selepas isya kontraksi mulai tak tertahan. Dodo yang jadi juru hitung pun memastikan sudah sampai 8 hingga 7 menit sekali datangnya. Setelah discuss dengan keluarga, dengan mempertimbangkan jarak, kami pun akhirnya memutuskan untuk memeriksakan pembukaan dulu ke Bidan Euis sebelum akhirnya menghubungi dr Ruswana. Setibanya di klinik Bubid saya malah semakin kesakitan. Rasa nyeri kontraksi seperti datang tanpa jeda. Rasanya udah gak sanggup lagi pulang ke rumah apalagi pergi lagi ke mana-mana. Setelah melakukan pengecekan dalam, Bubid menyatakan sudah pembukaan 4 menuju 5. Saya yang datang hanya bersama Dodo akhirnya mengabari keluarga bahwa kami akan melahirkan dengan Bubid saja.
Nyerinya seperti apa waktu itu bener-bener gabisa saya gambarin. Saya pun mulai dipasangi infus dan oksigen. Seketika saya ingat Mamah. Apa yang dilaluinya ketika akan melahirkan ketiga anaknya mungkin kurang lebih seperti apa yang rasakan saat itu. Udah ga ada waktu bagi saya untuk mengeluh saking rapatnya interval rasa nyeri dan rasa takut saya akan terkuras energi. Hanya zikir yang menjadi penolong saya untuk mengalihkan bahkan mengurangi rasa nyeri itu, dan Dodo yang tak pernah melepaskan tangannya dari genggaman saya. Dodo juga yang selalu mengingatkan saya untuk tidak membuang-buang energi dengan mengaduh apalagi berteriak kesakitan. Dodo juga yang membimbing saya untuk mengatur napas, berzikir..dan terus berzikir. Sesekali Bubid memeriksa pembukaan di saat saya berjuang di tengah rasa nyeri. "Sudah mau masuk pembukaan 7, Bu. Ayo semangat," kata Bubid waktu itu. Sesekali Bubid pun memeriksa denyut jantung Lil' One. "Stabil kan, Bu?" pertanyaan itu selalu terlontar setiap kali alat monitor jantung itu diletakkan di perut saya (bahkan sejak pertama kali saya melakukan pemeriksaan dengan beliau), dan baru terasa lega setelah Bubid mengiyakannya.
Menjelang tengah malam, terasa semakin banyak cairan keluar. Saya mulai panik, karena kali itu rasanya bukan flek berupa cairan kental, tapi seperti air kencing yang keluar mengalir. Dodo terus berusaha menenangkan saya. Sementara di luar klinik terdengar suara mobil yang saya kenal. Bapak, Mamah, dan Chacha sudah datang sepertinya. Bubid yang kali itu kembali mengecek pembukaan, mulai terlihat gusar. Allahuakbar. Cairan kuning kehijauan terlihat dari sarung tangan karet Bubid setelah ia melakukan pengecekan dalam. "Air ketubankah?" pikir saya, yang kemudian selalu saya tepis dengan zikir dan takbir yang tak hentinya saya baca dalam hati. Bubid kembali memeriksa denyut jantung Lil" One, dan kali ini terdengar lebih cepat dari sebelumnya.
Di tengah kepanikan, saya berusaha tenang. Meskipun rasanya ingin memberondong Bubid dengan berbagai pertanyaan, yang keluar dari mulut saya hanya, "Bayi saya ga kenapa-napa kan, Bu? Ko denyut jantungnya cepet gitu?" Bubid memang menjawab bahwa Lil' One baik-baik aja. Tapi Dodo yang tiba-tiba keluar ruangan mengikutinya, dan terdengar diskusi mereka dengan keluarga saya, entah kenapa tiba-tiba air mata saya mengalir begitu aja. Zikir dan takbir yang sejak tadi tak henti saya bacakan dalam hati rasanya ingin saya teriakkan untuk menguatkan Lil' One agar bertahan hingga pembukaan lengkap dan akhirnya terlahir ke dunia.
Setelah Bubid dan Dodo kembali masuk ke ruangan, barulah saya tahu bahwa pembukaan saya stuck di 7 dan tidak bertambah hingga saat itu, sementara air ketuban (yang sudah mulai hijau) sudah terus berkurang melalui rembesan. Setelah sekian lama waktu yang saya habiskan di ruangan itu, memerangi nyeri yang subhanallah sekali rasanya, saya pun dinyatakan gawat janin. Subhanallah.
Bubid menyatakan bahwa masih mungkin saya melahirkan normal, apalagi tinggal menunggu 3 bukaan lagi saja. Tapi mengingat risiko air ketuban terus berkurang dan hijau, khawatir akan meracuni Lil' One, saya pun dirujuk ke rumah bersalin terdekat agar persalinan saya bisa segera ditangani kalaupun harus menempuh operasi. Dengan pertimbangan jarak yang terdekat dari rumah dan klinik Bubid, maka dipilihlah Rumah Bersalin Handayani dan berangkatlah saya menggunakan ambulans dari kliniknya. Sepanjang perjalanan menuju RB, denyut jantung Lil' One terus dimonitor. Zikir dan takbir saya pun terus mengiringi denyutnya yang cepat sekali.
"Hang on there Lil' One, I'll fight for you."
Opsi Operasi
Tibalah kami di RB Handayani. Saya mencoba pasrah karena rasanya hanya sikap itu yang bisa menenangkan hati saya. Apa pun kekhawatiran yang saya rasakan setelah apa yang saya alami beberapa jam sebelumnya, Allah lah penolong saya. Itu saja yang selalu saya sugestikan setibanya saya di sana. Seturunnya dari ambulans, dengan menggunakan kursi roda saya pun dibawa ke sebuah ruangan. Di sana saya kembali dipasangi infus, dipasangi alat untuk memonitor jantung, dan kembali dicek pembukaan oleh seorang bidan jaga. Masih 7, katanya. Rasa sakit yang sebenarnya sudah lebih hebat sedari di ruang inap klinik bidan tadi, malah seperti tak ada apa-apanya dibandingkan penantian saya di tengah segala kekhawatiran saat itu. Bersama dr Ruby yang tengah jaga malam itu, saya mendengar Dodo berdiskusi. Entah apa pastinya yang mereka bicarakan. Hanya sedikit saja yang bisa saya tangkap di tengah suara denyut monitor jantung yang berbunyi tanpa henti. Tapi entah kenapa, di balik itu semua, dua kata "gawat janin" yang diucapkan dokter terdengar sangat jelas di telinga saya. Allahuakbar. Suara mereka kemudian menjauh, sepertinya mereka pergi ke ruangan lain saat itu. Saya merasa seperti orang linglung. Tidak tahu pasti apa yang terjadi pada saya dan Lil' One, dan tidak tahu harus melakukan apa. Bertanya pun tak lagi bisa. Hanya bisa pasrah kepada ketentuan-Nya. Ya, pasrah.
Tiba-tiba nyerinya terasa berbeda dari sebelumnya. Kali ini sangat mulas. Seperti ada keinginan buang air besar yang tidak bisa lagi saya tahan. "Susteeeeeeerrrrr," saya yang memang saat itu sendirian hanya bisa berteriak memanggil suster yang baru saja meninggalkan ruangan. Tak lama setelah itu, terasa cairan hangat mengalir deras di kedua paha. Kali itu saya yakin bahwa ketuban saya sudah benar-benar pecah, bukan lagi merembes seperti sebelumnya. Rasa takut saya coba alihkan. Saya benar-benar mencoba untuk terus pasrah dan berdoa. Dua orang suster kemudian datang. Disusul seseorang yang sepertinya bidan yang tanpa babibu langsung melakukan pengecekan dalam. Pembukaan masih 7 katanya. Tapi, dengan derasnya cairan yang mengalir tadi, jumlah air ketuban saat itu sudah sangat menipis bahkan nyaris habis. Subhanallah.
Akhirnya giliran dr Ruby dan Dodo yang masuk ke ruangan tempat saya terbaring lemas. Dokter Ruby menjelaskan bagaimana kondisi saya dan janin saat itu, dan menjelaskan pula risiko jika saya memaksa melakukan persalinan normal dengan kondisi air ketuban hijau dan nyaris habis, stamina saya yang sudah terkuras, juga denyut jantung bayi yang sudah mulai tidak stabil. Dokter Ruby menyerahkan keputusan kepada kami. Ia dan para suster pun akhirnya meninggalkan saya dan Dodo di ruangan itu untuk berdiskusi. Ya, adegan yang sebelumnya hanya saya tonton di sinetron-sinetron itu pun, kini bener-bener saya alami sendiri...
Jika hanya melihat pembukaan saya yang sudah mencapai 7 dan rasa nyeri yang sudah saya lewati memang rasanya sayang. Hanya sedikit lagi saja perjuangan saya menuju persalinan normal dan bertemu Lil' One. Tapi tentunya perjuangan Lil' One untuk bertahan dengan air ketuban yang sudah semakin keruh dan jumlahnya yang nyaris habis pun harus kami utamakan. Bismillah..keselamatan Lil'One segalanya bagi kami. Mengingat risiko yang harus diambil jika persalinan normal tetap dipaksakan, kami pun akhirnya memutuskan untuk mengambil opsi persalinan secara caesar.
Kamis, 15 Agustus 2013, kurang lebih jam 1 dini harinya, saya pun dibawa ke ruang operasi. Setelah apa yang saya lewati, saya bener-bener ga berdaya untuk duduk dan menerima suntikan bius di punggung kala itu. Dua perawat membantu saya duduk. Hanya beberapa saat setelah suntikan di punggung itu, pinggang hingga kaki saya pun tiba-tiba mati rasa. Saya benar-benar tidak lagi merasakan apa-apa. Hanya terdengar suara musik instrumental yang mengiringi jalannya operasi. Rasa kantuk pun tak bisa lagi ditahan. Meski akhirnya mata bisa terpejam, sayup-sayup suara dr Ruby, dr Anton sebagai dokter anastesi, masih bisa saya dengar. "Ada perlengketan di sini, Bu. Kalau haid suka sakit ya?" suara dr Ruby mengagetkan saya. Saya pun mengiyakan, karena memang nyeri haid itu yang hampir saya alami setiap bulan. "Ada endometriosis juga ini Bu, saya bersihkan sekalian ya," kata dr Ruby lagi. Seketika rasa khawatir semakin bertambah. Gimana ngga, berkali-kali saya datangi dokter kandungan, berkali-kali juga saya lakukan pemeriksaan USG di ovarium saya, baru sekarang terlihat ada perlengketan dan endometriosis di sana. Subhanallah. Mungkin inilah alasannya kenapa langkah operasi caesar harus saya ambil pada akhirnya. Ada yang ingin Allah "tunjukkan" kepada saya, satu gangguan yang saya alami di ovarium, yang akhirnya bisa sekaligus ditangani bersamaan dengan operasi caesar saya saat itu. Indeed..everything happens for a reason ya.. :')
Jam dinding di ruang operasi menunjukkan pukul 02.17. Saat itu, dari bayangan lampu yang menempel di langit-langit ruangan, tepat di atas tubuh saya, saya melihat sesosok bayi yang dikeluarkan dokter dari perut saya. Saat itu campur aduk rasanya. Sampai-sampai air mata sudah tak lagi bisa keluar. Apalagi, sesaat setelah dikeluarkan, tak ada suara yang terdengar. Ya, Lil' One memang tak langsung menangis layaknya bayi yang baru dilahirkan. "Alhamdulillah, perempuan Bu," kata dr Roby. "Bayi saya selamat kan, Dok?" tanya saya. "Dibawa ke ruang observasi dulu ya, Bu," jawaban "menggantung" dari dr Roby itu pun semakin membuat saya resah. Seorang perawat terlihat memasuki ruangan lain saat itu, membawa sesosok bayi merah di tangannya. Hingga beberapa saat ia masuk ke ruangan yang berada tak jauh dari tempat saya tergolek, masih belum juga terdengar suara tangisan Lil' One. Saya benar-benar pasrah. Rasa takut, sedih, senang campur terharu yang saya rasakan, tak lagi bisa saya ekspresikan. Sampai akhirnya terdengar suara suatu alat seperti tengah menyedot cairan, disusul suara tangisan bayi, saya pun bertakbir dalam hati.
Setelah semua itu, entah kenapa rasa mual menyerang saya. Saya pun muntah seketika. Perawat yang tengah membereskan alat operasi pun jadi punya pekerjaan ekstra, membersihkan muntahan saya yang berceceran di samping meja operasi. Tak lagi sempat bertanya ada apa dengan saya sampai mual itu menyerang saya tiba-tiba. Tak lagi bisa bertanya seperti apa keadaan Lil' One dan di mana dia saat itu. Saya hanya terkulai lemas di meja operasi, sampai akhirnya perawat itu membersihkan muntahan dari badan saya, lalu membawa saya ke luar ruangan bersama satu perawat laki-laki.
Di deretan bangku yang terdapat di luar ruangan operasi, saya pun akhirnya kembali bertemu Dodo. Dari wajahnya, saya melihat ekspresi lega dan bahagia luar biasa, yang mungkin tak pernah saya lihat sebelumnya. Meski rasa kantuk juga jelas terlihat dari matanya, Dodo tak henti-hentinya tersenyum sambil menatap saya. Ia seperti tak lagi sanggup berkata-kata. Genggaman tangannya terasa sangat erat, hingga akhirnya ciumannya pun mendarat di kening saya. "Have you meet her? Is she alright?" tanya saya kontan pada Dodo. "She's wonderful. Sehat, cantik," jawab Dodo masih dengan senyum termanisnya. Tak lama Mamah, Bapak, Kakak dan Kakak Ipar pun mengampiri saya. Ucapan selamat pun datang bergantian dari mereka. Bapak, si pria yang dikenal berbadan Rambo dan berhati Rinto itu bahkan terlihat berkaca-kaca, malah sepertinya sudah meneteskan air mata sebelumnya.. :P Saya tidak melihat Chacha. Karena besok harinya masih harus bekerja, Bapak melarang dia menunggui operasi saya dini hari itu.
Ucapan selamat dan ungkapan dari Dodo dan keluarga saya yang mengatakan betapa Lil' One terlahir sehat dan tak kekurangan suatu apa pun memang cukup melegakan saya. Dodo bahkan bercerita bahwa ia harus mengulang mengazani hingga dua kali, saking gugupnya melihat sesosok bayi mungil di hadapannya yang begitu lekat menatapnya. Saya lega, sangat lega mendengarnya. Tapi, tetap saja masih terasa kurang. Karena hingga detik itu saya masih juga belum diizinkan untuk bertemu dengan Lil' One yang telah 9 bulan ini hidup bersama saya, di dalam tubuh saya.
"I miss you, Lil' One. I wanna hold and kiss you, My Dear..."
Selepas operasi, satu per satu anggota keluarga saya pun memutuskan untuk pulang dulu dini hari itu. Hanya Dodo yang menemani saya di rumah sakit. Bius belum juga hilang. Rasa nyeri jahitan belum sempat saya rasakan. Tapi itu nyaris ga saya pedulikan. Hanya Lil' One yang jadi bahasan obrolan saya dan Dodo sepanjang dini hari itu. Kami pun memutuskan nama final yang akan kami berikan kepadanya setelah sekian lama berdebat dan beberapa kali berganti-ganti.. :D
Kalilla Emysha Aulia
Kalilla (Arabic): yang dikasihi
Emi (Japanese): cantik
Mysha (Arabic): bahagia sepanjang hidup
Aulia (Indonesian): pemimpin yang suci
Bismillah. Teriring doa semoga nama yang kami berikan benar-benar menjadi doa pula bagi putri kami tercinta. Semoga ia menjadi pemimpin cantik yang dikasihi, yang diberkahi kebahagiaan dalam hidupnya. Amin.. :)
Siangnya, saya pun akhirnya bisa bertemu dengan Kalilla. Sempat ada speechless moment saat suster menyerahkan bayi mungil nan lucu itu ke tangan saya. Afterall, saya langsung menciuminya sambil menyapa "Halo Kakak, ini Ambu, Nak." Setelah gagal melakukan IMD karena kondisinya yang tidak memungkinkan pasca caesar semalam, hal pertama yang saya lakukan setelah menatap dan menggendongnya ialah belajar menyusui. Rasanya, luar biasa. Di satu sisi saya senang karena Kalilla sudah pintar mengisap puting ambunya. Tapi ASI yang tak kunjung keluar membuat isapannya semakin kuat dan membuat puting saya lecet hingga berdarah. Subhanallah. Meski begitu, perjuangan tentu gak boleh berhenti. Apalagi suster tampak ingin meracuni saya untuk memberikan susu formula saja daripada Kalilla menangis terus kelaparan. Termakan hasutan itu, sorenya saya pun sempat (dengan bodohnya) menolak memberikan ASI karena nyeri lecetnya gak bisa saya tahan lagi. Sampai akhirnya cairan bening kekuningan keluar dari puting saya. Ya, kolostrum. Cairan mahapenting untuk imunitas tubuh bayi itu akhirnya keluar juga. Kontan saya pun langsung menggendong Kalilla dan tak ingin ia menyia-nyiakannya. Kalilla mulai menikmati momen menyusui ini karena kini cairan susu mulai mengalir sedikit demi sedikit masuk ke dalam mulutnya. Saya? Sambil meremas lengan Dodo, saya hanya bisa menahan nyeri yang semakin menjadi seiring dengan semakin kuatnya Kalilla menyusu. Lagi-lagi, momen itu mengingatkan saya pada Mamah dan apa yang dilewatinya semasa melahirkan dan menyusui ketiga anaknya. Pantaslah jika surga ada di telapak kakimu, Mah...
Setelah ASI keluar, kami pun mulai room in. Sejak itu, setiap kali Kalilla menangis, ia hanya tenang jika saya susui. Rasa sakit benar-benar saya abaikan. Apalagi Mamah selalu menyemangati saya dan bilang bahwa ini hanya akan berlangsung sebentar, tidak akan berbulan-bulan seperti yang saya khawatirkan.
Selain rasa sakit menyusui, ada hal lain yang juga harus saya lewati. Rasa bosan di rumah sakit harus saya lawan dengan belajar duduk, berdiri, dan akhirnya berjalan pasca operasi caesar. Akhirnya hari itu pun datang. Sabtu, 18 Agustus 2013, setelah tidak lagi bergantung pada suster atau siapa pun untuk berjalan, saya pun diperbolehkan pulang. Saya, Dodo, dan Kalilla akhirnya pulang ke istana kecil kami. Alhamdulillah.. :)
Welcome home, Baby Kalil... :* |
peace & love
@cy
Komentar
Seru kok, Put..terbayar semua mulesnya itu setelah Lil' One nyampe di pelukan.. :)
Semangaaatttt!!! \(^_^)/